Pagi ini masih seperti yang lain, masih
seperti tiga bulan yang lalu. Ini musim
hujan, dan jujur aku terlalu malas untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang
ada. Kuputuskan untuk menarik selimut
lebih erat mengelilingi tubuhku, aku ingin tidur, tapi rasanya susah sekali
untuk mengikat mataku untuk tetap diam.
“ Semesta!! Sudah jam ena, kok belum makan, to? Hari senin gini ya mbok semangat!” Suara ayah dari ruang
makan menggema. Aku tak
menghiraukannya. Entah ini hari pertama
masuk sekolah, entah hariku ulang tahun atau yang lainnya, aku memutuskan untuk
tak peduli. Sebenarnya aku sangat bosan
terdiam di kamar, ingin rasanya aku pergi untuk sekedar menikmati indahnya
pemandangan luar atau lainnya, namun sekali lagi bosan, aku malas. ----- tok
tok tookkpintu kamarku diketuk keras oleh ayah. “iya, mau makan” jawabu seadanya. Dengan langkah gontai aku mulai menyiapkan
segala-galanya untuk hari senin ke sekian kalinya.
“Semesta, ayo buruan, telat lho” Panggil
ayah seraya menepuk pundakku, senyum diwajahnya semakin terlihat, aku muak
melihatnya. Kuanggukkan kepalaku, dan
aku bergegas masuk ke mobil. Aku ,
semesta 15 tahun, sudah mulai remaja, orang bilang masa remaja adalah masa yang
indah, kita bisa melakukan banyak hal baru sepuasnya, namun bagiku, masa
remajau sangat menyebalkan. Aku tinggal
di rumah bersama ayahku karena ayah dan ibuku sedang rusak hubungannya, aku
sangat benci melihat pertengkaran mereka, dulu hampir setiap hari ayah dan ibu
berkoar-koar di dapur hingga memecahkan barang-barang yang ada, dan pada
akhirnya mereka berpisah, dan kau tidak bisa membayangkan suasana hatiku saat
itu, aku merasa aku terlalu kecil untuk mencermati permasalahan orang dewasa,
aku merasa belum saatnya aku memahami dan memaklumi bila mereka berdua tidak
serumah. Pada hari disaat mereka
bercerai ibu memeluk erat diriku sambil berkata sepatah-dua patah yang tidak
semua aku mengerti maksudnya karena segala ucapannya tertahan air mata, “nak,
yang baik sama ayah ya, ibu mau pergi , ibu sayaang banget sama kamu” hanya itu
yang kuingat. Aku yang masih kecil hanya
bisa mengangguk-angguk polos. Akhirnya aku
tinggal bersama ayah , awalnya aku biasa-biasa saja menanggapinya, namun lama-lama
tinggal serumah dengannya. Aku selalu
rindu ibu sejak mereka bercerai, aku berpikir bukankah seharusnya aku tinggal
bersama ibu karena aku seorang perempuan? Pernah kuutarakan pada ayah bila aku
ingin bertemu ibu , namun dia hanya tertawa dan malah mengganti topik
pembicaraan, berkkali-kali aku menangis minta bertemu dengan ibu, tapi dia
hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan tersenyum , serta menjanjikan hal lain
“ Nanti ayah ajak kamu ke dufan deh, kita main sampai puas,” “ayah belikan kamu
boneka barbie yang besaar banget spesial buat semesta, aah janji deh”
Janji-janji itu tidak memuaskan hatiku, entah dufan, entah boneka, aku ingin
ibu.
Sejak mereka bercerai pula , aku menjadi
anak pendiam, aku tidak berteman dengan siapapun, mulutku selalu terkunci
dimanapun berada , teman-teman yang tidak tahu apa-apa seenaknya menjauhiku,
aku sedih sebenarnya kehilangan mereka, namun sedih lagi bila kehilangan ibu.
----------------------------------
Lamunanku dibuyarkan oleh ayah,
“Semesta, udah sampai, entar pulang sendiri ya?” ujarnya sambil mengacak-acak
kepalaku. Mencoba untukseru, aku hanya
mangangguk, segera masuk kedalam kelas.
Kelasku hanya berjarak sekitar 15
meter dari gerbang, maka dari itu, aku sedikit bersanta-santai menuju
kelas. Lagipula, di kelas selalu ramai,
anak-anak tidak pernah diam dikelas kecuali saat ujian, dan aku benci
keramaian. Seiring aku berjalan, bangku
pojok belakang, tempat dudukku terlihat, walaupun aku duduk di belakang, jangan
beranggapan bila aku murid yang malas, rapotku selalu memuaskan, aku selalu
mendapatkan peringkat 5 besar di kelas, hanya saja jika aku duduk di bagian
pojok telingaku lumayan tidak terganggu oleh bisingnya suaraanak-anak.
Akhirnya, aku duduk di bangku itu dan mulai melamun, hingga saat pelajaran.
Siang menjadi sangat dingin karena hujan
menggelegar. Tidurku sebenarnya akan
nyenyak bila tidak diganggu oleh ributnya anak-anak, ada apa nih batinku. Tampak
Pak Rofik, wali kelasku masuk dengan membawa anak asing... tunggu, asing? Wah,
dia pasti anak baru, dia terus tersenyum sambil merapikan rambutnya. Anak-anak dikelas mulai berbisik-bisik, “wah
siapa dia?” “ cantik, yaa” “ anak kaya, tuh” aku hanya diam dan mulai komat
kamit berdoa agar dia tidak duduk di bangku kosong sebelahku. “ Nah, kenalkan dirimu.” Tanpa basa-basi Pak
Rofik berbicara. Gadis itu tersenyum, “
Hai semuaa, namaku Rita! Aku pindahan
dari Surabaya, semoga kita bisa berteman baik” bibirnya yang tipis masih saja
menorehkan senyum. Kelasku heboh
seketika, sepertinya terkagum pada dia.
Rita si murid baru memang benar-benar cantik, ditambah senyumnya yang
selalu mengambang. Tuhaan, jangan taruh dia di sebelahku, dia pasti rame banget!
Pikirku sambil menggigit bibir, namun.. “ Rita, duduk di sebelah semesta, ya..”
Ujar pak Rofik, “ sudah saya mau mengajar” Tambahnya singkat.----- oh tidak, hidupku merana sekarang, kenapa
harus anak seperti dia yang menjadi teman sebangkuku? Dia berjalan ke
sebelahku dengan senyumnya yang mengambang, ketika dia mulai duduk, dia
menyapaku “ Oh ini taa, Semesta, Haloo!” dia melambai kecil ke arahku, seketika
itu semuanya melirikku tajam. Senyumku
terurlur dengan paksa, dan mulai membaca buku yang ada. “ Wah, sayang dong kalo anak ceria kayak
Rita, jadi temenan sama anak kayak batu, jadi apatuh?” Sofi , anak paling
cerewt di kelasku mulai menyolot. Aku
menghela nafas, pura-pura tak tahu ada apa.
Rita hanya tersenyum ciut, lalu dia melihatku sejanak. “ Semesta, namamu unik, ya” kata Rita sambil
memamlingkan wajah dari anak-anak. ,” Iya” jawabku ketus. “ Wah seru lo, punya nama yang unik, banyak
banget lo yang namanya Rita” ujarnya sambil memainkan rambut. Aku hanya berdehem, dia mulai bercerita
tentang sekolahhnya dulu, tentang hobi-hobinya juga. Karena aku malas mendengarkannya, jadi aku
hanya berpura-pura melihatnya.
Tuhan,
perasaanku semakin memburuk, aku tidak bisa duduk dengan anak yang ramai
seperti ini. Ini sudah dua jam, dan dia
masih tidak bosan-bosannya mengajakku bicara, namun pada akhirnya bila aku
bosan mendengarkannya. “ Semesta kenapa,
BM ya? “ tanyanya. “ Nggak kok “ jawabku gusar ya jelas!! “ Duh, aku minta
maaf , harusnya aku tau kalau kamu pendiam” wajahnya menciut,aku
mengangguk. “Semesta, kan aku barusan di
Malang, gimana kalau kita pergi ke mana gitu, biar apa ya.. biar nggak kudet
gitu deh, .. sama hal- hal di Malang kamu ceritain” Pintanya. “ Maaf, tapi kamu
ngajak orang yang salah, anak-anak masih banyak kok” jawabku. “ Yaahhh, aku kan
maunya sama teman pertamaku di Malang..” Dia mulai merengek seperti bayi. Rese banget, akhirnya aku mencoba tersenyum
riang padanya, dan dia tampak senang, “ Yeeeyy, makasih, lo!” hah,
kenapa dia ber terima kasih?
Sudah
2 bulan Rita bersekolah disini. Jujur,
aku sangat terganggu dengan kehadirannya di sebelahku, dia terus bercerita tanpa
henti, dan telingaku mulai berkarat mendengarkannya. Walaupun dia juga berteman dengan yang lain,
dia masih saja mengikutiku, jika aku ke kantin, dia ikut, ke perpustakaan aku
ikut, kemanapun aku pergi dia selalu menggandeng tanganku layaknya kami sahabat
sejati, padahal aku sudah sering sekali membentaknya, “Jangan dekati aku” Pergi
sana!!” , “ kata-kata semacam itu sudah menjadi hobi keluar dari mulutku
untuknya. Seperti biasa, dia hanya
tersenyum dan tersenyum seperti biasa, seraya berujar seperti “ Ah, apaan sih,
kan aku ingin berteman, kamu kenapa sih nggak pernah senyum?”
Pernah satu hari kita berdua
dikeluarkan oleh salah satu guru karena kita berdua terlalu ramai, padahal Rita
yang terus berceloteh kepadaku, sekali aku mengingatkan, guru itu langsung
meminta kami berdua keluar kelas. Lantas
kami duduk bersandar di luar. Aku
mencoba untuk tidur sementara, sementara dia memainkan rambutnya.
“ Semesta, kenapa sih nggak pernah senyum?”
aku menggeleng geleng, lalu memejamkan mataku.
“ Emang ada masalah, apa keluargamu
marah sama kamu? Punya masalah sama adik? Kenapa sihh? Curhat dong” Katanya ,
“
bukan urusanmu !”
“Yah
kan, kamu bisa cerita kali, aku kasih tau ya, kalo punya masalah dibawa enjoy
aja deh, coba senyum, kamu pasti bisa melupakan masalahmu,naah setiap hari gini
aku senyum, kan..”
“Ya
soalnya kamu nggak punya masalah” jawabku ketus
“Eh
, sok tau..... ikutin saranku ajadeh, senyum itu bisa mengobati banyak problem
, entah habis putus, entah gara-gara keluargamu, senyum aja, tapi juga cari problem solving nya, kamu
tau..!”
“
Udah ceritanya,? Hidupku nggak semudah omonganmu!” aku memotong kalimatnya
seraya pergi mencari tempat lain untuk tidur.
----------------------
Hidupku ditambah beban baru, selain
ayah yang mengganggku hidupku, Rita mulai menjadi parasit baru. Keadaanku di rumah semakin memburuk, ayah
masih saja mencoba mejada ayah yang baik di hadapanku, dia sepertinya pamer
dengan segala kasih sayang palsu yang dia punya. Kalau dia masih peduli denganku, harusnya dia
bisa , kan memaklumi anaknya, yang ingin sekali bertemu dengan ibunya. Ayah benar-benar jahat, aku bersumpah bahwa
aku tidak akan pernah menjadi orang sepertinya kelak bila dewasa nanti.
Tanganku mulai letih mencatat
poin-poin penting pelajaran IPA. Ditambah
Rita yang super hiperaktif di sebelahku, dia egois sekali, aku tau dia pasti
memiliki kehidupan yang bahagia bersama keluarganya. Dia pasti punya ibu yang
selalu ada di sisinya, bukan? Aku meremas-remas tanganku, kata orang banyak
sih, agar tidak capai saat menulis, “ Anak-anak untuk ujian praktek kali ini,
tugasnya kelompok , kalian buat penelitian tentang limbah dkk yaa, kelompoknya
sama teman sebangku, dua minggu lagi dikumpulkan, ya.” Ujar bu Rizka guru IPA. APA, apa apa?? Aku melirik Rita, aku harus menjari partner
nya untuk pekerjaan kali ini, sangat menyebalkan, aku bisa membayangkan
bagaiman keluarganya tersenyum ramah kepadaku, menannya-nanya keberadaanku,
Arghhh, aku mengeluh berkali-kali.
“Semesta aku punya ide, di deket rumahku, dekeet banget, ada banyak
limbah , jadi kayak sungai kotor gitu... nanti kita bisa .. err gitu deh..”
Ya
, dua minggu ke depan akan semakin merana.
----------------------------------------------
Minggu pagi ini aku pergi mencari
rumah Rita untuk melakukan penelitian IPA soal limbah-limbah itu, keberadaan
rumahnya tidak seperti yang kupikirkan , aku mengira rumahnya berada di kawasan
nyaman dan elite, seperti perawakan cerianya, kenyataannya tidak , untuk pergi
kerumahnya, harus melewati gang-gang kecil dan sempit, akhirnya aku tiba di
depan rumahnya. Berdesain serba
minimalis, dengan tanaman-tanaman di sekitar halaman rumahnya, dan seperti yang
dia katakan , rumahnya sangat dekat dengan sungai kotor itu , baunya saja sudah
menyeruak menusuk hidungku.
Kebetulan, ketika aku tengah
mengamati rumahnya, dia muncul dengan senyum mengambang, “Hai Semesta, susah ya
cari rumahku, ayo sini masuk !” Sapanya keras.
Aku tersenyum canggung, lalu melepas sepatu dan masuk ke dalam rumahnya.
Ruang tamu itu amat sederhana, tidak
ada sofa satupun, jadi aku berlesehan di karpet yang disediakan. Di dinidng rumahnya terpajang banyak foto
yang terlihat lama, namun tidak satupun foto Rita ada disana. Rita akhirnya datang dengan berbekal beberapa
buku kecil, serta diikuti oleh 3 anak balita yang masing-masingnya memegang
boneka. Aku tercengang , sedikit tidak
percaya kalau itu kemungkinan adik-adiknya.
Lalu Rita duduk, dan membuka buku, “Oh, ya Semesta, ini adik-adikku,
mereka umur 5 semua, aku harus menjaga mereka nih, soalnya bibi lagi kerja , eh
kamu bertiga, mainnya di kamar aja, jangan disini, kakak mau belajar” Sembari
dia bercerita padaku, dia menoleh ke adik-adiknya.
“ Loh orang tuamu kemana? “ Tanyaku
refleks
“ Oh, mereka cerai, terus ayah sama
ibu udah punya pasangan masing-masing, cuman bibi yang mau ngerawat kami
berempat, ya bersyukur udah punya tempat tinggal” Ujarnya bercerita.
Aku
kaget mendengar penjelasannya.
“ Ayah sama ibu dulu cerai sejak 4
tahun yang lalu, padahal adik-adik masih bayi juga, entahlah orang dewasa pasti
punya banyak masalah kan..” Sambungnya.
“Kamu nggak ngerasa sedih apa? “
Tanyaku
“ Aku sedih sih, tapi namanya hidup
juga diajalanin lah, makanya aku pernah bilang ke kamu, kalau senyum bisa
menyelesaikan segalanya “ Dia terseyum
Aku benar-benar tidak percaya dengan
segala yang dikatakannya, kedua orang tuanya sudah tak peduli lagi dengan
kehidupannya, namun Rita masih bisa tersenyum, aku masih jauh dibawah Rita soal
konflik keluarganya, dia sudah ditinggal oleh keduanya.
“ Jika bahagia itu pilihan, kenapa
enggak?” ucapan Rita satu ini amat menggoyahkanku.
Aku
mulai bersyukur karena dia sudah menjadi temanku, lambat laun aku mencoba
selalu tersenyum, dan benar! Itu
berhasil, rasanya aku masih memiliki harapan lagi. Hubunganku dengan ayah juga semakin membaik ,
dan aku mulai mendapat banyak teman. Aku
sadar bila ucapan ucapan Rita itu benar, dan aku sudah mendapatkan banyak ibrah
darinya,
Maka
dari itu , teman, bila kamu mempunyai masalah, cobalah untuk tersenyum, seberat
apapun masalahmu!
Oleh: Farah Tsabita Huda
Siswa MTs Surya Buana