MALANG KOTA - Aura kebahagian terpancar di wajah
Ventary, saat menceritakan detik-detik penerimaan penghargaan dari Sembilan
negara atas inovasinya menyulap kulit durian menjadi baterai alternaif.
Kesembilan Negara itu adalah Korea, Qatar, Kroasia, Makau, Hongkong, Malaysia,
Taiwan, Thailand, dan Indonesia tentunya.
Di
kursi ruang tamu MTs Surya Buana, gadis berusia 14 tahun itu memampang beberapa
piagam penghargaan di pangkuannya. “Saya meraih tiga medali emas dan satu
penghargaan yang ditandatangani Sembilan Negara,” ujar perempuan kelahiran, 29
Agustus 2001 itu.
Pada
18-20 Desember 2014 lalu, Ventary mengikuti kontes adu inovasi yang digelar
Kaohsiung International invention exhibition, lembaga pemerhati inovasi di
Taiwan. Ada ratusan peserta yang mewakili negaranya masing-masing. Hampir semua
Negara di Eropa, Asia, dan Amerika mengikuti kontes adu inovasi tersebut. Indonesia
mengirimkan tiga wakilnya, yakni Ventary dan dua peserta lainnya adalah
mahasiswa dari Sulawesi. Tentu saja sebelum dikirim ke Taiwan, putri pasangan
Ahmad Effendi dan Paramita Badracari itu sudah lolos seleksi dari tingkat Kota
Malang dan Jatim.
Alat
inovasi yang ditampilkan adalah baterai alternatif berbasis kulit durian. Caranya
sederhana, tapi membutuhkan ketelatenan. Kulit durian dijemur 24 jam, lalu
dibakar hingga menjadi arang. Setelah itu ditumbuk hingga menjadi serbuk, lalu
dipadatkan dengan membubuhi kanji. Agar arang dari kulit durian tidak
berhamburan, Ventary menyiasatinya menggunakan wadah. Bisa menggunakan seng
dibentuk melingkar, bisa pula memanfaatkan baterai yang sudah rusak. Karbon
bekas di baterai itu dia lepas, lalu diganti karbon dari arang kulit durian
yang ditumbuk halus.
Ventary
mengawali temuannya dari ketidaksengajaan. Suatu hari, dia diajak ibunya
belanja ke pasar. Meski sekolah di Kota Malang, tapi seminggu sekali dia pulang
ke Turen, tanah kelahirannya. Di pasar tradisional yang kumuh, siswa kelas VIII
MTs itu melihat banyak kulit durian berserakan di jalanan. Kepekaaan sosialnya
muncul. Sambil memandangi kulit durian, terbesit di benaknya, apa jadinya jika
kulit durian yang tajam dan mengangah itu terinjak ibu-ibu di pasar.
Berawal
dari keresahannya itu, dia mulai berpikir. Bagaimana caranya agar kulit durian
bisa dimanfaatkan, sehingga tak berserakan. Sepulangnya dari pasar, dia mencari
multimeter (alat pengukur kandungan unsur). Pikirannya tertuju pada multimeter karena
sejak kecil Ventary menggemari elektronik. “Saya tes pakai multimeter, ternyata
ada kandungan listrik di kulit durian,” kata anak kedua dua bersaudara itu.
Meski
sudah mengetahui ada kandungan energy di kulit durian, Ventary masih belum tahu
bakal diapakan kulit durian tersebut. Ide membuat baterai alternatif berbasis
kulit durian muncul September 2014 lalu. Saat itu, gurunya menginformasikan aka
nada kontes inovasi tingkat internasional. Ventary tertarik mengikutinya.
Ide
membuat baterai muncul karena dia teringat karbon di baterai. Akhirnya dia
mulai uji coba. Dia sempat gagal beberapa kali karena pembakarannya terlalu
lama, sehingga tak menjadi arang. Tapi menjadi abu. Dia mulai lagi dan gagal
lagi. “Pembakaran yang tepat hanya dua jam. Saya memang sempat beberapa kali
gagal,” kata bocah yang bercita-cita menjadi pengusaha itu.
Percobaannya
pun lancer hingga proses penumbukan karbon akan memadatkannya. Bahkan, saat
memberikan kutup positif dan negatif pada baterai, juga tak ada masalah. “Saya
coba pada remote control, ternyata berfungsi,” kata dia.
Tapi
daya energinya tidak bertahan lama. Untuk ukuran tujuh unit baterai, daya tahan
saat uji coba pada remote control hanya bertahan 20 menit. Ventary tak tahu
berapa kekuatan tujuh unit baterai pada umumnya., tapi dia menduga lebih dari
20 menit. “Saya hanya butuh waktu dua hari untuk uji coba,” katanya.
Usai
menuntaskan karyanya, dia mengajukan pembuatan proposal ke gurunya. Untuk
menyakinkan, dia mempraktikkan cara membuat baterai pada gurunya. Oktober 2014
lalu, Ventary menjalani seleksi mulai dari Kota Malang, Jatim, hingga nasional.
Proses seleksinya memang tidak kompetisi antarsekolah, tapi berdasarkan
proposal yang diajukan.
Seleksi
di tingkat nasional, hanya tiga peserta yang lolos dan dikirim ke Taiwan. Tapi
yang menyabet medali emas hanya Ventary. Juri takjub dengan inovasi Ventary
ini. Di saat siswa lain seusinya masih bingung menghafalkan rumus, dia sudah
menerapkannya dan menemukan baterai alternatif.
Keberhasilannya
pun tidak hanya membuat gurunya bangga. Apalagi karya Ventary sudak masuk
jurnal internasional. Boleh jadi, Ventary adalah satu-satunya siswa MTs yang
karyanya tembus jurnal internasional. “Orang tua saya sempat kaget saat
mengetahui penghargaan Sembilan Negara,” kata bocah berkulit sawo matang itu. “Saya
minta apa saja dituruti,” tambahnya sembari tersenyum lebar.
Maklum
saja, Ventary tergolong siswa yang bukan maniak baca buku. Meski berprestasi
dan nilainya bagus, dia hanya menyediakan waktu 30 menit untuk belajar. Selebihnya
dimanfaatkan untuk bermain dan bantu-bantu kakaknya. “Kebetulan orang tua
mempunyai kos. Saya dan kakak ditugasi jaga,” katanya.